-->

Dengan Siapa Golkar Akan Berkoalisi ?????


Idealnya, inilah saatnya PG kembali menyatukan pecahan-pecahan Partai Golkar Sebelumnya seperti Gerindra dan Hanura, atau mungkin juga partai-partai non-electoral treshold lain yang berinduk semang sama, Golkar. Wiranto dan Prabowo adalah anak kandung Golkar. Ketika mereka seperti kehilangan induknya-tetapi bertarung sendirian tidak kuat, atau berkoalisi dengan pihak lain juga belum tentu memberikan hasil maksimal-bukankah lebih beralasan untuk bersatu dengan induk yang masih cukup signifikan kekuatannya?

Dalam kalkulasi Wiranto maupun Prabowo, bergabung ke PG sejatinya nyaris sama nilai politiknya, kecuali kalau soal pencapresan, elektabilitas Mega jelas lebih kuat dibanding JK. Tapi, lain soal kalau-atas dasar induk semang yang sama-kemudian justru PG menjadi pendukung Prabowo misalnya, untuk berkompetisi dalam pilpres 2009 (ingat, elektabilitas Prabowo sudah menyalip JK dan calon-calon PG lainnya). Lalu, siapa yang akan ditempatkan sebagai cawapres Prabowo? Apakah JK mau atau kader lain?

Hanya saja, bukankah ini solusi yang sama dilematisnya dengan kondisi skenario SBY-JK pascapecah kongsi? Sementara, apabila PG memaksakan diri menggandeng Prabowo, PG tetap harus bisa menawarkan posisi yang tidak kalah menariknya dengan kemungkinan tawaran Mega-PDIP. Tetapi ingat pula, kalau skenarionya duet JK-Prabowo dimajukan dalam pilres 2009, sekalipun cukup menantang, jelas banyak orang di kelompok ini yang sungguh berharap supaya hasil survei “mau” memberikan bacaan elekatbilitas yang lebih ramah kepada mereka.

Bagaimana dengan PPP dan PAN? Melihat dinamikan internal kedua partai ini, rasanya sulit untuk mengajak mereka bergabung dalam blok baru kalau yang dijual adalah kemengangan dalam pilpres 2009. Sekali lagi, kalau urusan pencapresan sebagai modal poltiknya, semua partai sudah melihat, porosnya mengerucut pada Mega atau SBY. Poros lain hanya menarik dalam analisis, tapi susah diraba potensi kemenangannya, karena banyak survei sudah membaca kecenderungan pilihan masyarakat.

Ketiga, ketok palu Rapimnassus PG menyatakan, tetap berkoalisi dengan PD sekalipun harus mengajukan lebih dari satu kandidat cawapres ke SBY-PD. Apa perhitungannya? Sekali lagi soal potensi kemenangan koalisi dalam pilpres 2009. Sementara, masalah-masalah ketersinggungan politik, egoisme atau bahkan waham besar sekalipun, mungkin bisa disingkirkan kalau pertimbangannya adalah demi PG juga.

Dari berbagai statement petinggi PG maupun PD, sebenarnya tidak ada pernyataan bahwa SBY menolak JK. Yang ada hanya interpretasi atas penolakan tersebut akibat kubu SBY-PD menyampaikan kriteria cawapres ideal dan menghendaki kubu PG mengajukan lebih dari satu nama cawapres. Ini bisa saja dibaca sebagai kritik membangun atas pola hubungan SBY-JK selama ini dan bagaimana mengoreksinya ke depan, tapi bisa juga dibaca secara negatif bahwa itu merupakan sinyal penolakan untuk JK.

Sementara, sekalipun PG menyatakan “cerai”, kubu PD jelas-jelas masih tetap membuka diri untuk melanjutkan pembicaraan koalisi. Apakah PG kelewat menginterpretasikan sinyal politik SBY? Mungkin saja, dan syukurnya ada sejumlah pinisepuh PG yang bisa membaca hal tersebut secara lebih arif. Saya rasa, akan ada arus seperti ini dalam Rapimnassus PG hari ini.

Sampai pada titik ini, saya akan ajak Anda untuk menengok hasil survei exit poll (membaca preferensi pemilih usai memilih langsung dalam pileg) Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pemilu legislatif lalu tentang kecenderungan pilihan dalam pilpres 2009 (selengkapnya, klik di www.lsi.or.id). Hasil survei ini-sekalipun didemo oleh pendukung Wiranto-saya anggap cukup kredibel dan komprehensif, serta besar kemungkinan menjadi acuan hampir semua partai dalam melangkah ke arah pilpres 2009.

Survei LSI menemukan bahwa apabila calon presidennya hanya tiga, yaitu SBY, Mega, dan JK, maka persentase pilihannya adalah SBY 59,8 persen, Mega 18,9 persen, sementara JK 7,7 persen. Sementara jika capresnya ada enam, yaitu SBY, Mega, JK, Prabowo, Wiranto, dan Sultan, maka tiga besarnya adalah SBY 53 persen, Mega 16,5 persen, Prabowo 9,8 persen. Pesannya, potensi perolehan suara SBY jauh melampaui calon mana pun yang sudah muncul dalam diskusi publik. Potensi SBY menang dalam satu putaran sudah menjadi asumsi hampir semua analis politik yang berbasis data dan survei.

Selanjutnya, LSI juga menemukan bahwa tingkat soliditas pemilih PD untuk memilih SBY mencapai 86 persen, sementara soliditas pemilih PDIP ke Megawati 64,9 persen, pemilih PG ke JK hanya 22,2 persen. Berarti, ada 35 persen dan 77,8 persen pemilih PDIP dan PG yang menjatuhkan pilihannya ke capres partai lain. Dan ternyata, bagian terbesar dari pilihan mereka itu jatuh ke pangkuan SBY dari PD. Tren partai boleh apa saja, tapi capresnya SBY ini ternyata juga diikuti oleh para pemilih dari partai-partai lain, seperti PKS, PKB, PAN, dan Hanura.

Itulah sebabnya, hitung-hitungan koalisi saat ini-sekalipun arah dan acuannya adalah pilpres 2009-sesungguhnya nyaris menafikan signifikansi posisi partai politik, terutama dalam melatari preferensi pilihan masyarakat dalam pilpres 2009. Jika hitung-hitungannya seperti ini, maka pilihan bagi PG dan partai-partai lainnya sudah sangat jelas; ikut SBY-PD berarti terlibat dalam pemerintahan, sementara ikut blok lain berarti harus bersiap kalah dan menjadi oposisi.

Kembali kepada JK dan Golkar, akankah mereka sudah yakin dan bersiap sepenuhnya untuk menjadi partai oposisi, baik bergandengan dengan PDIP atau jadi oposisi tersendiri? Apakah mereka yakin, posisi sebagai oposisi benar-benar seseksi yang digambarkan oleh para anlis politik? Atau, apakah mereka tetap akan memaksakan diri untuk maju ke pencapresan, tanpa memperhitungkan public message soal keberlanjutan pemerintahan SBY? Kita lihat saja drama berikutnya.
Facebook Comments

2 komentar

[url=http://dcxvssh.com]bUdRoeenMzXGB[/url] , fWpRFJ , http://yuxeflk.com

Balas

[url=http://vtyupdr.com]UdNFRKzqSJ[/url] - uGEgyhloqKjCH , http://iluubcb.com

Balas