-->

Pemilu 2009: Indonesia Masih Perlu Figur Calon Presiden dari Militer


Indonesia dinilai masih memerlukan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) berlatar belakang militer. Sejumlah survei menyebutkan, masyarakat tidak keberatan jika dipimpin figur dari kalangan militer.

Demikian diungkapkan peneliti dari Reform Institute, Yudi Latif, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Suhardi dan Direktur Lembaga Survei Nasional, Umar S Bakry, secara terpisah, di Jakarta, Rabu (4/2).

"Dalam persepsi publik, masyarakat tidak terlalu mempersoalkan capres berlatar belakang militer atau sipil," ujar Yudi.
Senada dengan itu, Umar menyatakan, kehadiran kandidat capres atau cawapres berlatar belakang militer, dalam jangka pendek dan panjang masih akan tetap dibutuhkan. Sebab, masyarakat masih mempersepsi militer sebagai figur pluralis dan majemuk, berkomitmen terhadap Pancasila dan NKRI. "Selain itu, militer, sebagai sosok yang dianggap tegas, bisa diharapkan mengatasi kegamangan bangsa," ujarnya.

Namun, dia mengakui, saat ini masih ada stigma militer bersikap anti-HAM dan demokrasi. "Ini memang titik lemah militer, nilai-nilai itu belum terinternalisasi dan tidak terlihat oleh publik. Tetapi, saya kira tidak semua purnawirawan jenderal bersikap seperti itu," kata Umar.

Sementara itu, Suhardi menjelaskan, masyarakat pada umumnya tidak melihat dikotomi sipil-militer dalam pencapresan. Sehingga, relatif tidak ada resistensi terhadap munculnya figur militer.

Terkait Pilpres 2009, ketiganya sepakat bahwa untuk saat ini, sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang paling menonjol dari kalangan purnawirawan. "Peluang terbesar masih di tangan SBY, disusul Prabowo Subianto, kemudian Wiranto," ungkap Suhardi.

Secara terpisah, pengamat politik militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani menilai, rakyat Indonesia saat ini membutuhkan calon pemimpin yang bisa menjamin perubahan bagi nasib rakyat. "Tidak peduli apakah dia berlatar belakang militer atau sipil," tegasnya.

Majunya para purnawirawan sebagai kandidat capres, kata Jaleswari, tidak akan mempengaruhi netralitas TNI maupun Polri. Sebab, netralitas TNI dan Polri, sudah sangat dijamin oleh aturan perundangan yang ada, dan netralitas sudah menjadi harga mati.

"Saya kira netralitas TNI/Polri yang dibentuk dalam proses 10 tahun reformasi, telah diperoleh dengan harga mahal. Ini tak mungkin diabaikan begitu saja oleh kedua institusi tersebut. Jadi di pemilu maupun pemilihan kepala daerah (pilkada), TNI maupun Polri tetap akan netral," ujarnya.

Terkait isu HAM dan tradisi tidak demokratis yang selalu mengganjal para capres berlatar belakang militer, Direktur Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani berpendapat, isu itu sebenarnya menjadi konsumsi kalangan elit dan tidak sampai ke masyarakat kelas bawah. "Masyarakat pada umumnya tidak mengenal dikotomi sipil-militer. Isu ini akan terlewatkan lewat kampanye yang luar biasa," ujarnya.


Sudah Sipil
Disinggung kemungkinan para purnawirawan bersatu mendukung salah satu figur berlatar belakang militer guna mencegah faksionalisasi, menurut Jaleswari, kecil kemungkinan bisa terjadi. "Mereka itu sudah purnawirawan dan sipil penuh, jadi sama sekali tak ada hambatan dalam berpolitik. Kecil kemungkinan mereka akan mendukung pada satu figur," ujarnya.

Senada dengan itu, Sekjen DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) A Muzani menegaskan, pihaknya tak mungkin mengalihkan dukungan yang diberikan ke Prabowo Subianto kepada SBY. Hal senada juga ditegaskan Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) M Ali Kastella, bahwa dukungan terhadap Wiranto sebagai capres sudah bulat.

"Para purnawirawan itu sudah sipil, sehingga berhak memilih calonnya masing-masing," ujar Muzani.
Facebook Comments

0 komentar