-->

Apa itu candidacy buying dan bagaimana penanganannya dalam sengketa Pemilu

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun
Apa itu Candidacy Buying ? mungkin banyak dari kita tidak paham dengan istilah itu, tetapi kita lebih familiar dengan istilah "pembelian kandidat" atau bahasa tenarnya "Sewa Perahu". secara harfiah Candidacy buying diartikan sebagai suatu proses dimana kandidat harus memberikan imbalan kepada partai politik (parpol) sebagai bagian dari proses pencalonan agar diusung menjadi calon. Baik calon legislatif, presiden dan wakil presiden, maupun calon kepala daerah seperti bupati, walikota maupun gubernur. Nantinya, dana mahar atau sewa perahu itu dibayarkan oleh pasangan calon kepada sejumlah parpol yang mengusung mereka dalam Pilkada.
Candidacy buying sudah dilarang secara tegas oleh undang-undang. Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang mengamanatkan secara tegas bahwa tidak boleh ada transaksi uang dari calon kepala daerah kepada partai politik.
Selain itu, Pasal 47 ayat (2) di UU yang sama juga mengatur bahwa parpol yang terbukti menerima imbalan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di deerah yang sama. Bahkan, dari sisi calon atau kandidat pun, jika terbukti memberi imbalan dalam proses pencalonan maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Walikota dapat dibatalkan atau didiskualifikasi.

Refly Harun, Pakar hukum Tata Negara mengatakan,  dalam pelaksanaannya ketentuan pasal-pasal tersebut hampir dipastikan sulit diimplementasikan. Sebab, praktik menerima imbalan oleh parpol atau memberi imbalan bagi calon atau kandidat, keduanya sama-sama mesti dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurutnya, hal ini menjadi titik yang sangat krusial mengingat menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap menjadi rawan gugatan di kemudian hari.
“Beberapa peraturan sengaja diciptakan untuk tidak bisa dilaksanakan atau dilaksanakan cuma formalitas. Pasal ini sebetulnya tidak bisa dilaksanakan,” Ungkap Refly.
Refly melanjutkan, memang terkait dengan candidacy buying ini belum pernah ada yang meributkan, khususnya dalam sengketa di pengadilan. Namun, ia menyarankan agar permasalahan sengketa pada tahap pencalonan ini tidak diserahkan ke pengadilan negeri melainkan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Jangan serahkan ini kepada pengadilan konvensional. Mestinya MK saja yang menyelesaikan masalah ini,” usulnya.
Alasannya, lanjut Refly, karena pelanggaran dalam proses Pilkada ini berpotensi menjadi ‘bola liar’ di pengadilan. Sebaliknya, jika sengketa ini dibawa ke ranah pengadilan, ia khawatir, bisa memunculkan sejumlah potensi. Misalnya, pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan negeri bisa turut menggugat juga pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebelum membawa sengketa ini ke MK, Refly mencatat, para pihak mesti bisa membuktikan candidacy buying ini dalam persidangan di MK. Sebab, selama ini MK seringkali menolak sejumlah bukti-bukti terkait dengan politik transaksional dengan argumen antara bukti itu tidak berkaitan dengan hasil Pilkada secara langsung.
“Yang penting Pemohon bisa membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang melakukan vote buying dan candidacy buying. Dan itu mencederai asas pemilu yang Luber-Jurdil, sudah pelanggaran konstitusional itu,” tegasnya.
Ia yakin, dasar konstitusional yang bisa menjadi batu uji untuk mengajukan sengketa ini ke MK adalah Pasal 22E UUD 1945. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. “Saya tetap mendorong MK begitu. Mestinya MK menerima itu,” tandasnya.

sumber: hukumonline.com
Facebook Comments